Mengenal Lebih Dekat Pidoano Kuri, Pesta Adat Khas Wabula

Mengenal Lebih Dekat Pidoano Kuri, Pesta Adat Khas Wabula






Di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara ada bermacam tradisi berusia ratusan tahun yang masih diindahkan warganya hingga kini. Salah satunya Pidoano Kuri, yakni pesta adat masyarakat Wabula di Kecamatan Wabula yang digelar sekali dalam setahun sebagai tanda ucap syukur atas hasil bumi terutama kuri atau ubi.

Bunyi tetabuhan dari ganda atau gendang berukuran sedang menyerupai beduk, namun kedua sisinya dilapisi kulit domba, terdengar bertalu-talu, tak jauh dari tepian pantai Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Minggu sore itu, (23/6/2013).

Alat pukul tradisional Wabula itu ditabuh secara kompak oleh dua pria Wabula yang mengenakan peci hitam, selepas Ashar. Keduanya memukul-mukul ganda itu sambil duduk di teras kayu di sudut kanan galampa atau balai pertemuan adat berbentuk rumah panggung seperti pendopo kalau di Jawa.

Di sebelah mereka, ada seorang pria lagi yang kebagian tugas memukul gong. Namun suara ganda terdengar paling dominan. Kedua alat musik tradisional itu digantung di salah satu tiang atap galampa.

Ketukan pukulan kedua penabuh ganda itu dari awal hingga akhir itu-itu saja. Tidak variatif, jadi terkesan monoton. Temponya tidak lambat, tidak juga terlalu cepat. Disitulah letak ciri khasnya sehingga mudah diingat.

Suara tetabuhan ganda itu perlahan-lahan terbawa oleh sapuan angin laut yang berhembus ke pantai sampai ke ka’ana atau rumah panggung khas warga Wabula terjauh dari perkampungan itu.

Bunyinya juga berperan sebagai sinyal pemberitahuan agar warga Wabula yang belum datang ke lokasi acara segera hadir karena acara akan dimulai sebentar lagi.

Benar saja, tak berapa lama warga Wabula mulai dari orang tua, muda-mudi, dan anak-anak berdatangan. Ada yang mengendarai sepeda motor dan tak sedikit yang berjalan kaki. Bahkan ada beberapa pengunjung luar dari kecamatan lain yang letaknya cukup jauh dari Wabula.

Kehadiran mereka menambah ramai jumlah pengunjung yang sudah ada sebelumnya. Ratusan warga mengitari lapangan berpasir pantai berbentuk persegi empat yang terletak di antara galampa dan Masjid Nur Muhammad, masjid utama Desa Wabula.

Sejumlah orangtua duduk di kursi plastik di bagian terdepan lapangan. Ada juga yang duduk di undakan dan teras kayu galampa. Tak sedikit yang berdiri bagian dalam galampa yang berlantai kayu. Sebagian lagi berdiri di bagian belakang lapangan, di teras, dan di lantai masjid bagian luar. Bahkan sejumlah anak muda yang berada di barisan belakang lapangan, berdiri di atas meja-meja kayu agar dapat melihat atraksi yang akan segera dimulai.

Tak lama kemudian, parabela atau kepala adat masyarakat Wabula yang bernama La Dij (57) memerintahkan para tokoh masyarakat untuk memulai acara.

La Dij dan sejumlah tokoh masyarakat yang tampil mengisi acara itu mengenakan baju kebesaran berupa jubah atau baju panjang dari tenun khas Wabula berwarna cerah dan celana panjang yang kemudian ditutupi dengan balutan pidongko atau sarung tenun wabula buat laki-laki yang bercorak kotak-kotak. Mereka juga mengenakan kampurui atau ikat kepala laki-laki khas Wabula.

Satu per satu para pria Wabula mempertontonkan atraksi cara memegang dan memainkan kapiso atau pisau seperti keris dengan bermacam gerakan sambil diiringi tetabuhan ganda dan gong. Penonton bersorak dan tertawa setiap kali melihat ada yang tampil dengan gerakan aneh dan lucu.

Selanjutnya disuguhkan Tari Mangaru dan atraksi pencak silat. Menurut Rachmat, Tari Mangaru merupakan tarian perang yang ditampilkan oleh tiga orang lelaki. Dua orang sebagai petarung, satu orang lagi sebagi pelerai atau wasit yang menggunakan kinia atau alat berbentuk perisai kayu dan tongkat berbulu untuk melerai.

Tari perang tersebut menggambarkan masyarakat Wabula pada saat itu dalam mempertahankan diri dari serangan musuh dan juga menjaga kedaulatan daerahnya. “Pada prinsipnya untuk pembelaan diri dan mempertahankan negeri dari serangan lawan,” jelas Rachmat, pengamat Pidoano Kuri yang juga seorang pegawai Pemkab Buton.

Saat tari perang, dua orang saling berkelahi memakai kapiso yang diawasi seorang wasit. Mereka saling mengarahkan senjatanya ke tubuh. Kendati tidak sunguh-sungguh namun cukup mengerikan. Penonton pun bersorak meriah mendukung jagoannya masing-masing beraksi. Kemudian keahlihan pencak silat diperagakan bukan hanya para lelaki yang berusia uzur, pun beberapa pemuda setempat.

Kata Rachmat lagi, sebenarnya acara ini diperuntukan buat siapa saja, pria dan perempuan, orang tua dan muda-mudi. “Tapi belakangan ini karena terkontaminasi dengan budaya luar. Minat anak muda terhadap latihan pegang kapiso dan pencak silat mulai merosot, sehingga peran orangtua terlihat lebih menonjol,” akunya.

Atraksi kesenian yang berakhir jelang Magrib itu merupakan acara penutupan dari serangkaian pesta adat Pidoano Kuri yang berlangsung dua hari, 22-23 Juni 2013 lalu.

Menurut La Dij yang pernah menjabat sebagai kepala desa setempat selama 8 tahun, sehari sebelumnya (22/6), pesta adat yang terdiri dari 3 acara pokok ini dimulai dengan dupa'ayano ganda atau pembukaan dengan memukul gendang yang dilanjutkan dengan pembacaan doa di galampa.

“Doanya berisi ucap syukur dan permohonan supaya usaha pertanian dan perikanan tahun depan lancar, rakyat senantiasa sehat, dan hidup sejahtera,” jelasnya.

Selepas doa, kemudian makan malam bersama dengan aneka makanan dan panganan yang ditempatkan di atas wadah khusus yang disebut talam atau nampan.

Isi talam yang ditutup dengan dulang berlapis kain berwarna cerah, ada nasi yang dibentuk kerucut seperti nasi tumpeng yang dikelilingi aneka lauk-pauk seperti telur, ikan, dan bermacam buah antara lain pisang. Namun yang menjadi primadonanya, tentu saja kuri atau ubi kayu. “Kuri adalah hasil utama pertanian desa ini,” ujar La Dij.

Selain itu di dalam talam juga ada aneka kue olahan dari ubi seperti epu-epu dan onde-onde serta jenis panganan lain seperti wajik, cucur, dan kue bolu. Setiap orang kebagian satu talam, tak heran dalam pesta adat ini, jumlah talam yang disiapkan bisa mencapai ratusan.

Selepas makan malam berasma, Pidoano Kuri ini juga diisi dengan sejumlah tarian, seperti Tari Linda yang menggambarkan asal usul kehidupan orang Wabula.

Acara hari pertama ini berlangsung sehabis Shalat Magrib sampai menjelang Subuh. Keesokan sorenya diisi dengan pertunjukan kesenian berupa Tari Mangaru, latihan pegang kapiso, dan atraksi pencak silat sebagai acara hiburan sekaligus penutup.

Rachmat menambahkan, keterlibatan perempuan dalam pesta adat ini cukup besar. Selain mereka membuat dan menyiapkan nasi, lauk-pauk dan aneka panganan untuk makan bersama, mereka juga menari Tari Lakasina pada pukul 4 subuh di hari kedua.

La Dij menegaskan, setelah pesta adat Pidoano Kuri, ganda pantang dibunyikan atau ditabuh. “Gendang itu kembali dibuka kembali pada saat pembukaan Pidoa Anokuri tahun berikutnya sampai pesta adat itu berakhir,” terangnya.

Selain pesta adat Pidoano Kuri yang biasa dilaksanakan dua hari di bulan ke-enam setiap tahun, masih ada satu pesta adat lagi yang dikerap digelar masyarakat Wabula yaitu Mata’ano Galampa selama tiga hari di bulan kedua atau Februari setiap tahun.

Kata La Dij, baik pesta adat Pidoano Kuri maupun Mata’ano Galampa sudah berlangsung turun-temurun dilaksanakan masyarakat Wabula, dan kini masuk ke generasi ketiga.

Dulu kedua pesta adat itu berlangsung di Koncu yakni kota tua masyarakat Wabula yang pertama. Lokasinya berada di bukit-bukit yang sulit dijangkau. “Di sana masih ada Kuburan Wokaka atau masyarakat Wabula yang pertama yang ketika itu masih beragama Hindu,” akunya.

Karena aksesnya masih susah dijangkau, lanjut La Dij, pemda setempat berencana membuat jalan menuju kota tua itu.

Pesta adat ini diperuntukkan bukan semata buat masyarakat Desa Wabula namun juga orang Wabula dimanapun berada. Pidoano Kuri sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat Wabula yang merantau.

Masyarakat Wabula, kata La Dij jumlahnya ribuan. Selain menetap di Kecamatan Wabula, juga tersebar di sejumlah daerah dan kota lain. Kendati begitu, parabela-nya cuma satu dan berada di Desa Wabula.

“Parabela dipilih berdasarkan musyawarah masyarakat. Masa jabatannya tidak menentu. Apabila hasil laut tidak memuaskan atau pertanian sering diserang hama, dan wabah penyakit menimpa masyarakatnya, berarti parabela dinilai tidak berhasil memimpin dan dapat digantikan,” paparnya.

Alhamdullilah, lanjut La Dij tahun ini hasil pertanian dan laut bagus. “Buktinya ikan utamanya rumpong dan ikan layang berhasil ditangkap sampai berton-ton. Begitupun hasil buminya melimpah,” terang La Dij lagi.

La Dij menambahkan bahwa galampa dan masjid menjadi pusat adat Desa Wabula yang harus berada dalam satu lokasi atau berdekatan. “Galampa itu diumpamakan ayah yang menentukan masa depan. Sedangkan masjid sebagai ibu, tempat berdoa kepada sang Khalik,” terangnya.

Melihat dua fungsi pusat adat itulah, pesta adat Pidoano Kuri ini diselenggarakan di galampa dan masjid serta di antara keduanya.

Naik Pete-Pete atau Sewa Mobil
Desa Wabula terletak sekitar 28 Km dari Pasarwajo, ibu kota Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya ibukota Kabupaten Buton adalah Baubau yang kini berubah status menjadi kotamadya. Jarak Desa Wabula dari Kota Baubau sekitar 60 Km melewati Pasarwajo.

Untuk mencapai desa yang sudah dialiri listrik namun untuk sinyal handphone masih putus-nyambung ini bisa melalui darat maupun laut. Lewat darat, dari Kota Baubau jalannya sudah beraspal mulus sampai dengan Pasarwajo.

Setelah itu jalannya menyempit, berlubang-lubang, berkelok-kelok, naik turun terjal dan curam. Di beberapa ruas jalan, kanan-kirinya ditumbuhi perkebunan Jambu Mete yang kacangnya menjadi camilan oleh-oleh khas daerah ini.

Kendati sebagian aksesnya masik jelek, namun ada angkutan pedesaan yang disebut pete-pete dari Pasarwajo hingga ke Desa Wabula dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.

Pilihan lain menyewa mobil travel dari Bandara Betoambari, Kota Baubau. Menurut Iyan (25), salah seorang sopir mobil travel yang biasa mangkal di Bandara Betoambari, tarif sewa mobil travel dalam kota Rp 400 ribu per hari, sedangkan ke luar kota Rp 500 ribu per hari di luar bahan bakar.

Bandara Betoambari, Baubau dapat dijangkau dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan dengan pesawat Wings dan Merpati, masing-masing sekali dalam sehari.

Pilihan menginap, ada sejumlah hotel dan losmen di Kota Baubau. Di Pasarwajo baru ada losmen dan juga Rumah Makan Wangi-Wangi yang menyajikan makanan khas Buton seperti parende atau sop ikan dan juga ayam bakar dengan racikan berbeda. Sementara di Wabula belum ada penginapan, pengunjung yang ingin menyaksikan pesta adat Pidoano Kuri dari awal hingga penutupan, bisa bermalam di rumah penduduk.

Mengenal Lebih Dekat Pidoano Kuri, Pesta Adat Khas Wabula

Mengenal Lebih Dekat Pidoano Kuri, Pesta Adat Khas Wabula






Di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara ada bermacam tradisi berusia ratusan tahun yang masih diindahkan warganya hingga kini. Salah satunya Pidoano Kuri, yakni pesta adat masyarakat Wabula di Kecamatan Wabula yang digelar sekali dalam setahun sebagai tanda ucap syukur atas hasil bumi terutama kuri atau ubi.

Bunyi tetabuhan dari ganda atau gendang berukuran sedang menyerupai beduk, namun kedua sisinya dilapisi kulit domba, terdengar bertalu-talu, tak jauh dari tepian pantai Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Minggu sore itu, (23/6/2013).

Alat pukul tradisional Wabula itu ditabuh secara kompak oleh dua pria Wabula yang mengenakan peci hitam, selepas Ashar. Keduanya memukul-mukul ganda itu sambil duduk di teras kayu di sudut kanan galampa atau balai pertemuan adat berbentuk rumah panggung seperti pendopo kalau di Jawa.

Di sebelah mereka, ada seorang pria lagi yang kebagian tugas memukul gong. Namun suara ganda terdengar paling dominan. Kedua alat musik tradisional itu digantung di salah satu tiang atap galampa.

Ketukan pukulan kedua penabuh ganda itu dari awal hingga akhir itu-itu saja. Tidak variatif, jadi terkesan monoton. Temponya tidak lambat, tidak juga terlalu cepat. Disitulah letak ciri khasnya sehingga mudah diingat.

Suara tetabuhan ganda itu perlahan-lahan terbawa oleh sapuan angin laut yang berhembus ke pantai sampai ke ka’ana atau rumah panggung khas warga Wabula terjauh dari perkampungan itu.

Bunyinya juga berperan sebagai sinyal pemberitahuan agar warga Wabula yang belum datang ke lokasi acara segera hadir karena acara akan dimulai sebentar lagi.

Benar saja, tak berapa lama warga Wabula mulai dari orang tua, muda-mudi, dan anak-anak berdatangan. Ada yang mengendarai sepeda motor dan tak sedikit yang berjalan kaki. Bahkan ada beberapa pengunjung luar dari kecamatan lain yang letaknya cukup jauh dari Wabula.

Kehadiran mereka menambah ramai jumlah pengunjung yang sudah ada sebelumnya. Ratusan warga mengitari lapangan berpasir pantai berbentuk persegi empat yang terletak di antara galampa dan Masjid Nur Muhammad, masjid utama Desa Wabula.

Sejumlah orangtua duduk di kursi plastik di bagian terdepan lapangan. Ada juga yang duduk di undakan dan teras kayu galampa. Tak sedikit yang berdiri bagian dalam galampa yang berlantai kayu. Sebagian lagi berdiri di bagian belakang lapangan, di teras, dan di lantai masjid bagian luar. Bahkan sejumlah anak muda yang berada di barisan belakang lapangan, berdiri di atas meja-meja kayu agar dapat melihat atraksi yang akan segera dimulai.

Tak lama kemudian, parabela atau kepala adat masyarakat Wabula yang bernama La Dij (57) memerintahkan para tokoh masyarakat untuk memulai acara.

La Dij dan sejumlah tokoh masyarakat yang tampil mengisi acara itu mengenakan baju kebesaran berupa jubah atau baju panjang dari tenun khas Wabula berwarna cerah dan celana panjang yang kemudian ditutupi dengan balutan pidongko atau sarung tenun wabula buat laki-laki yang bercorak kotak-kotak. Mereka juga mengenakan kampurui atau ikat kepala laki-laki khas Wabula.

Satu per satu para pria Wabula mempertontonkan atraksi cara memegang dan memainkan kapiso atau pisau seperti keris dengan bermacam gerakan sambil diiringi tetabuhan ganda dan gong. Penonton bersorak dan tertawa setiap kali melihat ada yang tampil dengan gerakan aneh dan lucu.

Selanjutnya disuguhkan Tari Mangaru dan atraksi pencak silat. Menurut Rachmat, Tari Mangaru merupakan tarian perang yang ditampilkan oleh tiga orang lelaki. Dua orang sebagai petarung, satu orang lagi sebagi pelerai atau wasit yang menggunakan kinia atau alat berbentuk perisai kayu dan tongkat berbulu untuk melerai.

Tari perang tersebut menggambarkan masyarakat Wabula pada saat itu dalam mempertahankan diri dari serangan musuh dan juga menjaga kedaulatan daerahnya. “Pada prinsipnya untuk pembelaan diri dan mempertahankan negeri dari serangan lawan,” jelas Rachmat, pengamat Pidoano Kuri yang juga seorang pegawai Pemkab Buton.

Saat tari perang, dua orang saling berkelahi memakai kapiso yang diawasi seorang wasit. Mereka saling mengarahkan senjatanya ke tubuh. Kendati tidak sunguh-sungguh namun cukup mengerikan. Penonton pun bersorak meriah mendukung jagoannya masing-masing beraksi. Kemudian keahlihan pencak silat diperagakan bukan hanya para lelaki yang berusia uzur, pun beberapa pemuda setempat.

Kata Rachmat lagi, sebenarnya acara ini diperuntukan buat siapa saja, pria dan perempuan, orang tua dan muda-mudi. “Tapi belakangan ini karena terkontaminasi dengan budaya luar. Minat anak muda terhadap latihan pegang kapiso dan pencak silat mulai merosot, sehingga peran orangtua terlihat lebih menonjol,” akunya.

Atraksi kesenian yang berakhir jelang Magrib itu merupakan acara penutupan dari serangkaian pesta adat Pidoano Kuri yang berlangsung dua hari, 22-23 Juni 2013 lalu.

Menurut La Dij yang pernah menjabat sebagai kepala desa setempat selama 8 tahun, sehari sebelumnya (22/6), pesta adat yang terdiri dari 3 acara pokok ini dimulai dengan dupa'ayano ganda atau pembukaan dengan memukul gendang yang dilanjutkan dengan pembacaan doa di galampa.

“Doanya berisi ucap syukur dan permohonan supaya usaha pertanian dan perikanan tahun depan lancar, rakyat senantiasa sehat, dan hidup sejahtera,” jelasnya.

Selepas doa, kemudian makan malam bersama dengan aneka makanan dan panganan yang ditempatkan di atas wadah khusus yang disebut talam atau nampan.

Isi talam yang ditutup dengan dulang berlapis kain berwarna cerah, ada nasi yang dibentuk kerucut seperti nasi tumpeng yang dikelilingi aneka lauk-pauk seperti telur, ikan, dan bermacam buah antara lain pisang. Namun yang menjadi primadonanya, tentu saja kuri atau ubi kayu. “Kuri adalah hasil utama pertanian desa ini,” ujar La Dij.

Selain itu di dalam talam juga ada aneka kue olahan dari ubi seperti epu-epu dan onde-onde serta jenis panganan lain seperti wajik, cucur, dan kue bolu. Setiap orang kebagian satu talam, tak heran dalam pesta adat ini, jumlah talam yang disiapkan bisa mencapai ratusan.

Selepas makan malam berasma, Pidoano Kuri ini juga diisi dengan sejumlah tarian, seperti Tari Linda yang menggambarkan asal usul kehidupan orang Wabula.

Acara hari pertama ini berlangsung sehabis Shalat Magrib sampai menjelang Subuh. Keesokan sorenya diisi dengan pertunjukan kesenian berupa Tari Mangaru, latihan pegang kapiso, dan atraksi pencak silat sebagai acara hiburan sekaligus penutup.

Rachmat menambahkan, keterlibatan perempuan dalam pesta adat ini cukup besar. Selain mereka membuat dan menyiapkan nasi, lauk-pauk dan aneka panganan untuk makan bersama, mereka juga menari Tari Lakasina pada pukul 4 subuh di hari kedua.

La Dij menegaskan, setelah pesta adat Pidoano Kuri, ganda pantang dibunyikan atau ditabuh. “Gendang itu kembali dibuka kembali pada saat pembukaan Pidoa Anokuri tahun berikutnya sampai pesta adat itu berakhir,” terangnya.

Selain pesta adat Pidoano Kuri yang biasa dilaksanakan dua hari di bulan ke-enam setiap tahun, masih ada satu pesta adat lagi yang dikerap digelar masyarakat Wabula yaitu Mata’ano Galampa selama tiga hari di bulan kedua atau Februari setiap tahun.

Kata La Dij, baik pesta adat Pidoano Kuri maupun Mata’ano Galampa sudah berlangsung turun-temurun dilaksanakan masyarakat Wabula, dan kini masuk ke generasi ketiga.

Dulu kedua pesta adat itu berlangsung di Koncu yakni kota tua masyarakat Wabula yang pertama. Lokasinya berada di bukit-bukit yang sulit dijangkau. “Di sana masih ada Kuburan Wokaka atau masyarakat Wabula yang pertama yang ketika itu masih beragama Hindu,” akunya.

Karena aksesnya masih susah dijangkau, lanjut La Dij, pemda setempat berencana membuat jalan menuju kota tua itu.

Pesta adat ini diperuntukkan bukan semata buat masyarakat Desa Wabula namun juga orang Wabula dimanapun berada. Pidoano Kuri sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat Wabula yang merantau.

Masyarakat Wabula, kata La Dij jumlahnya ribuan. Selain menetap di Kecamatan Wabula, juga tersebar di sejumlah daerah dan kota lain. Kendati begitu, parabela-nya cuma satu dan berada di Desa Wabula.

“Parabela dipilih berdasarkan musyawarah masyarakat. Masa jabatannya tidak menentu. Apabila hasil laut tidak memuaskan atau pertanian sering diserang hama, dan wabah penyakit menimpa masyarakatnya, berarti parabela dinilai tidak berhasil memimpin dan dapat digantikan,” paparnya.

Alhamdullilah, lanjut La Dij tahun ini hasil pertanian dan laut bagus. “Buktinya ikan utamanya rumpong dan ikan layang berhasil ditangkap sampai berton-ton. Begitupun hasil buminya melimpah,” terang La Dij lagi.

La Dij menambahkan bahwa galampa dan masjid menjadi pusat adat Desa Wabula yang harus berada dalam satu lokasi atau berdekatan. “Galampa itu diumpamakan ayah yang menentukan masa depan. Sedangkan masjid sebagai ibu, tempat berdoa kepada sang Khalik,” terangnya.

Melihat dua fungsi pusat adat itulah, pesta adat Pidoano Kuri ini diselenggarakan di galampa dan masjid serta di antara keduanya.

Naik Pete-Pete atau Sewa Mobil
Desa Wabula terletak sekitar 28 Km dari Pasarwajo, ibu kota Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya ibukota Kabupaten Buton adalah Baubau yang kini berubah status menjadi kotamadya. Jarak Desa Wabula dari Kota Baubau sekitar 60 Km melewati Pasarwajo.

Untuk mencapai desa yang sudah dialiri listrik namun untuk sinyal handphone masih putus-nyambung ini bisa melalui darat maupun laut. Lewat darat, dari Kota Baubau jalannya sudah beraspal mulus sampai dengan Pasarwajo.

Setelah itu jalannya menyempit, berlubang-lubang, berkelok-kelok, naik turun terjal dan curam. Di beberapa ruas jalan, kanan-kirinya ditumbuhi perkebunan Jambu Mete yang kacangnya menjadi camilan oleh-oleh khas daerah ini.

Kendati sebagian aksesnya masik jelek, namun ada angkutan pedesaan yang disebut pete-pete dari Pasarwajo hingga ke Desa Wabula dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.

Pilihan lain menyewa mobil travel dari Bandara Betoambari, Kota Baubau. Menurut Iyan (25), salah seorang sopir mobil travel yang biasa mangkal di Bandara Betoambari, tarif sewa mobil travel dalam kota Rp 400 ribu per hari, sedangkan ke luar kota Rp 500 ribu per hari di luar bahan bakar.

Bandara Betoambari, Baubau dapat dijangkau dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan dengan pesawat Wings dan Merpati, masing-masing sekali dalam sehari.

Pilihan menginap, ada sejumlah hotel dan losmen di Kota Baubau. Di Pasarwajo baru ada losmen dan juga Rumah Makan Wangi-Wangi yang menyajikan makanan khas Buton seperti parende atau sop ikan dan juga ayam bakar dengan racikan berbeda. Sementara di Wabula belum ada penginapan, pengunjung yang ingin menyaksikan pesta adat Pidoano Kuri dari awal hingga penutupan, bisa bermalam di rumah penduduk.